Minggu, 27 Maret 2011

Kampanye Go Green, Lepas 150 Burung

Surabaya - Hari Bumi dirayakan dengan banyak cara oleh semua orang. Ada yang kampanye mematikan lampu, ada juga dengan cara lain.

Minggu (27/3/2011), City of Tomorrow bekerjasama dengan XL Axiata menggelar kampanye Go Green dengan melepas 100 burung gereja, 50 burung merpati dan menanam 30 pohon Sono.

Pelepasan itu secara simbolis dilakukan di parkir depan Cito yang dilakukan oleh perwakilan masing-masing. Acara ini juga melibatkan Cowbo Kid Club Cito untuk memperkenalkan kepada anak-anak secara dini agar lebih peduli untuk menyelamatkan bumi.

"Kami mendukung penuh kampanye untuk menyelamatkan bumi," ujar Marketing Communication Manager Cito, Dorothe Novita dalam rilisnya.

Cara ini dilakukan secara serempak di 25 the village malls di seluruh Indonesia.

GM Sales XL, Liedya Andayani juga mengaku pihaknya mendukung penuh aksi penyelamatan bumi. "Kami selalu berusaha untuk mendukung aksi atau kampanye penyelamatan bumi," ungkapnya.

Greenpeace Menyerukan Peningkatan Rencana Perlindungan Radiasi dan Evakuasi Menyeluruh

Krisis nuklir Jepang sudah memasuki minggu kedua dan tingkat pencemaran radiasi terus naik, lembaga lingkungan internasional Greenpeace, bersama kelompok masyarakat Jepang - Citizens Nuclear Information Center (CNIC), meminta peningkatan rencana evakuasi dan jarak aman bagi masyarakat sejauh 30km sebagai daerah pengecualian bagi wanita hamil dan anak-anak yang sudah pasti akan terkontaminasi di area tersebut. (1)
“Akibat krisis Fukushima yang berlanjut, kini pemerintah Jepang tidak bisa melindungi kesehatan masyarakat secara penuh. Meskipun awalnya hanya menjamin akan ada risiko kecil pada masyarakat dan sekarang yang kita lihat perluasan evakuasi dan peningkatan pencemaran radiasi dalam rantai makanan. Pemerintah Jepang tampaknya berada satu langkah di belakang situasi, dan ini harus diubah atas nama perlindungan publik. Sekarang adalah waktunya untuk mengungkapkan rencana darurat sehingga orang-orang dapat dilindungi secara baik,” ujar Nur Hidayati, Perwakilan Indonesia, Greenpeace Asia Tenggara.
Kita juga membutuhkan jawaban cepat atas pertanyaan-pertanyaan:
-          Pemerintah telah melaporkan pemantauan informasi bahwa kandungan radiasi di luar telah dihitung di tempat yang berbeda-beda. Bagaimana punmasyarakat telah beresiko terpapar radiasi internal melalui partikel yang masuk saat bernafas dan makan. Apakah pemerintah memiliki informasi jumlah kandungan radiasi di masyarakat? Lebih jauh, apakah pemerintah sudah memiliki data-data pemantauan pencemaran udara?
-          Apa sebenarnya status reaktor nomor 3 dan berapa banyak gas yang telah dihabiskan di nomor 4 dimana dilaporkan JAIF bahwa ledakan hidrogentelah diperbaharui keduanya pada 18 Maret 1600 dan 2000 JST?
-          Seberapa banyak radiasi yang sudah dilepas ke laut? Apakah pemerintah sudah memantau pencemaran terhadap ikan dan kehidupan laut lainnya?
“Bencana yang kini berlangsung, sekali lagi mengungkapkan kemustahilan menjaga keselamatan masyarakat saat bencana nuklir terjadi,” lanjut Nur Hidayati. Tidak hanya keinginan yang kurang dari pemerintah Jepang, tetapi tanggapan internasional masih jauh dari menyeluruh dan memadai dengan banyaknya badan nuklir nasional yang menawarkan saran yang berbeda-beda.”
“Kita telah melihat beberapa industri nuklir yang menganggap bencana ini sebagai keganjilan, seperti mereka ciptakan Chernobyl dan Three Mile Island dan beragumentasi bahwa kita butuh kekuatan nuklir untuk melawan perubahan iklim. Ini adalah khayalan berbahaya; itu seharusnya sudah jelas menjadi keprihatinan bahwa teknologi ini sangat berbahaya untuk jadi bagian dari rencana energy masa depan. Ancaman yang selalu ada dari bencana nuklir dan kenyataan yang muncul atas perubahan iklim, seluruh dunia harus mendorong pemanfaatkan potensi penuh dari sistem energi terbarukan yang aman, "Nur Hidayati menyimpulkan.

Go Green "The Baduy" of Indonesia!

A member of the traditional Baduy (or Badui) tribe sits at their home in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

The Baduy (or Badui), who call themselves Kanekes, are a traditional community living in the western part of the Indonesian province of Banten, near Rangkasbitung. Their population of between 5,000 and 8,000 is centered in the Kendeng mountains at an elevation of 300-500 meters above sea level. Their homeland in Banten, Java is contained in just 50 sq. kilometers of hilly forest area 120 km from Jakarta, Indonesia's capital.The word Baduy may come from the term "Bedouin", although other sources claim the source is a name of a local river. The Baduy observe many mystical taboos. They are forbidden to kill, steal, lie, commit adultery, get drunk, eat food at night, take any form of conveyance, wear flowers or perfumes, accept gold or silver, touch money, or cut their hair. Other taboos relate to defending Baduy lands against invasion: they may not grow sawah (wet rice), use fertilizers, raise cash crops, use modern tools for working ladang soil, or keep large domestic animals.Wikipedia

A member of the traditional Baduy (or Badui) looks on in their village in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. The traditional community consists of around 5000-8000 people spread acorss a hilly area of just 50 square kilometres. The religion of the Baduy people, known as Agama Sunda Wiwitan, combines elements of Hinduism, Buddhism and traditional beliefs, including various taboos such as not eating food at night, touching money, accepting gold or silver or even cutting their hair. Getty Images / Ulet Ifansasti

A member of the traditional Baduy (or Badui) tribe cooks rice at their home in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A woman of the traditional Baduy (or Badui) tribe weaves cloth at their home in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A women of the traditional Baduy (or Badui) tribe weaves cloth at their home in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A member of the traditional Baduy (or Badui) tribe weaves cloth at their home in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A general view of houses of the traditional Baduy (or Badui) tribe in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A member of the traditional Baduy (or Badui) tribe carries banana to sell at their village in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A man of the traditional Baduy (or Badui) tribe puts on a head dress at his village in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A member of the traditional Baduy (or Badui) tribe prepares to carry wood from the river to sell at their village in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A member of the traditional Baduy (or Badui) tribe carries the wood from the river to sell at their village in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti
http://www.rosiana.com/
Members of the traditional Baduy (or Badui) tribe prepare to carry wood from the river to sell at their village in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A member of the traditional Baduy (or Badui) strips bark from wood in the river for them to sell at their village in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A general view of houses of the traditional Baduy (or Badui) tribe in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

Two children of the traditional Baduy (or Badui) tribe carry firewood at their village in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A man of the traditional Baduy (or Badui) tribe puts on a head dress at home in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A member of the traditional Baduy (or Badui) tribe walks on the bamboo bridge in the village in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A member of the traditional Baduy (or Badui) tribe walks in the village in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia. Getty Images / Ulet Ifansasti

A member of the traditional Baduy (or Badui) tribe walks in the village in the hilly forest area of the Kendeng mountains on Feb. 7, in Banten, Indonesia


Sabtu, 26 Maret 2011

Pameran Nasional Bonsai dan Suiseki Indonesia 2011: “Go Green Jakarta”

Dari tanggal 5 sampai 13 Maret 2011, Jakarta akan menjadi tuan rumah Pameran Nasional Bonsai dan Suiseki se-Asia Tenggara. Dengan mengusung tema "Go Green Jakarta", Pameran Nasional Bonsai dan Suiseki Indonesia 2011 akan menampilkan beberapa karya terbaik Bonsai dan Suiseki dari seluruh wilayah Indonesia. Acara tersebut berlangsung di area parkir Gandara City Platinum, juga akan diisi dengan kegiatan Demo membuat Bonsai, workshop Bonsai dan presentasi video mengenai bonsai.

Bonsai dan Suiseki adalah seni eksotis Asia yang telah menjalar ke seluruh belahan dunia dan termasuk Indonesia. Seni merekayasa tanaman menjadi ukuran yang kecil ini dikenal luas dengan nama Bonsai, yang pertama dimulai di Cina, kemudian masyarakat Jepang meniru seni merekayasa tamanan ini dan mengembangkannya dari tahun ke tahun kemudian menyebarkan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Suiseki juga dikenal dari Cina namun lebih dikembangkan di Jepang. Secara umum dikenal sebagai seni perpaduan imajinasi alam dan keindahan dalam membentuk batu yang tidak lazim. Batu dapat dibentuk menjadi pegunungan, danau, air terjun atau pemandangan alam lainnya, jadi intinya Suiseki merupakan representasi alam di tangan seseorang.

"Acara ini diperkirakan akan menjadi yang terbesar di ASEAN karena koleksi eksklusif Bonsai dan Suiseki yang akan dipamerkan jumlahnya sangat besar”, kata Budi Sulistiyo, Ketua Indonesia’s Bonsai Enthusiasts Association (PPBI). Selain itu, Budi juga mengatakan sekitar 500 koleksi bonsai dan 200 koleksi Suiseki akan dipamerkan dalam perhelatan ini.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, Jero Wacik dijadwalkan secara resmi akan membuka pameran ini pada Sabtu, 5 Maret 2011. Acara ini diperkirakan akan menarik pengunjung dari Jepang, Malaysia, Singapura, Swiss, Filipina, dan Taiwan, dan tentunya penggemar Bonsai dan Suiseki dari berbagai negara lain.